Ironis, APBD Masih Rahasia
Meski sejumlah upaya telah dilakukan oleh kabupaten dan kota untuk mendorong transparansi, publik bereaksi berbeda. Konfirmasi publik berdasar hasil survei tersebut menunjukkan bahwa upaya-upaya transparansi belum optimal. Sembilan tahun pelaksanaan otonomi daerah belum mampu mencapai harapan masyarakat soal keterbukaan informasi.
Sebanyak 49,8 persen responden menyatakan masih sulit mendapatkan informasi kebijakan daerah. Artinya, separo di antara jumlah responden menyatakan sulit mendapatkan dokumen publik, seperti peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah. Kondisi tersebut ironis dengan prinsip bahwa regulasi daerah yang telah ditetapkan mutlak menjadi hak publik. Padahal, kebijakan daerah merupakan aturan yang mengikat publik dan pemda.
Selain kebijakan daerah yang telah disahkan, masyarakat di Jatim masih sulit mendapatkan rancangan peraturan daerah. Hanya 37,7 persen responden yang menyatakan setuju tentang kemudahan mendapatkan informasi rancangan dan pembahasan kebijakan daerah. Menurut temuan JPIP, hanya sekitar tiga daerah yang telah mengunggah (upload) kebijakan-kebijakan daerah yang telah ditetapkan di laman (website) resmi pemda. Bahkan, hanya satu daerah yang telah berani menggunggah rancangan perda yang akan ditetapkan.
Ada sedikit harapan bisa menggantungkan pada keterbukaan informasi pelayanan publik. Sebanyak 58,9 persen responden menyatakan mudah mendapatkan informasi tarif, waktu, dan prosedur pelayanan. Data tersebut cukup logis mengingat risiko transparansi informasi pelayanan publik lebih kecil daripada risiko transparansi informasi kebijakan bagi pemda.
Pekerjaan rumah lainnya yang perlu menjadi perhatian pemda menyangkut kemudahan akses informasi APBD. Sebanyak 59,5 persen responden menyatakan tidak setuju atas kemudahan mendapatkan informasi APBD. Sementara itu, responden yang menjawab setuju 36,1 persen.
APBD sepertinya masih dianggap sebagai dokumen rahasia bagi sebagian besar daerah. (wawan sobari/jpip)