Kegiatan Syamsul Arifin, Mantan Penyerang Andalan Persebaya, Sekarang
Tidak Bisa Jadi Pelatih karena Tidak Tegaan
Syamsul Arifin begitu dipuja publik Surabaya pada 1980-an. Dia menjadi jaminan tajamnya lini depan menjebol gawang lawan. Sayang, dia tak menularkan ilmunya melalui dunia kepelatihan.
A. AINUR ROHMAN, Surabaya
---
KEGANASAN dan agresivitas Syamsul Arifin di depan gawang lawan sangat legendaris. Dia juga pandai mencetak gol melalui kepalanya saat membela Niac Mitra Surabaya ataupun Persebaya Surabaya pada 1980-an.
Sampai-sampai Syamsul mendapat julukan si Kepala Emas dari sejumlah media massa pada masa itu. Julukan tersebut diberikan karena kemampuan Syamsul sangat istimewa.
Dia berani menyongsong bola sambil terbang dan menjatuhkan diri. Banyak sekali gol tercipta. Tidak terhitung pula berapa kali kepalanya tertumbuk kaki bek-bek lawan. Bahkan, kapten Persebaya era 1986-1990 Nuryono Hariyadi menyebut, saat itu di Indonesia hanya Syamsul yang bisa menyundul bola setengah nekat tersebut.
Namun, keberanian di lapangan Syamsul bertolak belakang dengan kesehariannya. Ditemui di rumahnya, kawasan Tenggilis Timur, Surabaya, Kamis lalu (27/5), Syamsul sangat bersahaja. Bahkan, kesannya sangat pemalu.
Memakai sarung dan kopiah, Syamsul terlihat sibuk memberikan makan lima burung peliharaannya. Ketika ditanya soal aktivitasnya saat ini, Syamsul hanya menjawab pendek. ''Merawat cucu. Saya ini sudah tua, alhamdulillah bisa meningkatkan ibadah,'' katanya.
Meski sangat hebat sebagai pemain sepak bola, Syamsul saat ini sangat jauh dari olahraga yang membesarkan namanya itu. Ketika rekan-rekan seangkatannya, semisal Rudy Wiliam Keltjes, Joko Malis, dan Riono Asnan masih mondar-mandir sebagai pelatih beberapa tim Indonesia, Syamsul tidak ikut menggeluti bola.
Sebetulnya, Syamsul berhasrat untuk bisa aktif dalam sepak bola. Menjelang akhir karirnya sebagai 1991, Syamsul berguru kepada pelatih legendaris Niac Mitra saat itu M. Basri. Syamsul belajar teknik kepelatihan sebagai asisten mantan pelatih tim nasional tersebut.
''Namun, saya tidak tegaan. Ketika perintah saya tidak dituruti anak buah, rasanya nelangsa sekali. Saya selalu mengukur orang lain dengan kedisiplinan saya sendiri. Tetapi, ya itu tadi, saya tidak bisa marah,'' katanya.
Syamsul menceritakan, sebagai pemain, dirinya selalu dituntut untuk menjunjung disiplin yang sangat tinggi. Entah itu di lapangan maupun luar lapangan.
Kalau sampai performa anjlok, akan banyak sekali pemain yang mengambil posisinya. Banyaknya pemain berkualitas pada akhir 1970-an dan awal 1980-an membuat persaingan begitu ketat.
Pria 55 tahun tersebut menambahkan, dirinya selalu menambah porsi latihan selepas latihan bersama pelatih. Terutama, untuk memperbaiki kekurangan selama ini.
Kalau sundulan lemah, Syamsul akan mengasah kemampuan menanduk bola agar lebih sempurna. Latihan tambahan itu selalu menjadi agenda rutin. ''Menjadi pemain bola saat itu memang sangat membanggakan. Kami memang sangat menghargai profesi kami dan punya kemuan untuk maju,'' jelasnya.
Bapak empat anak itu mengungkapkan, meski kesejahteraan pemain bola pada waktu itu sangat minimalis, hasrat untuk memberikan yang terbaik selalu muncul saat pertandingan. Pria asal Turen, Kabupaten Malang, itu menuturkan, pemain bola sekarang seharusnya lebih bisa fokus bermain. Harus lebih keras lagi dalam menempa diri. Sebab, pesoalan kesejahteraan agaknya sudah terselesaikan.
Tetapi, Syamsul kecewa. Banyak penyerang sekarang yang teknik dan visi permainannya jauh dari kata bagus. Syamsul menyatakan tidak bisa mengkritik orang.
Ketika melihat di televisi, lanjut dia, banyak penyerang lokal yang kurang punya pengertian dengan tim. ''Maunya individual saja. Tidak melihat posisi kawannya. Seharusnya bermain bola itu untuk tim,'' tegasnya.
Syamsul menegaskan, tim di atas segala-galanya ketimbang kejayaan pribadi. Syamsul ingat, saat bermain di Niac Mitra sekitar 1979-1980, dirinya berkejar-kejaran dengan rekannya, Joko Malis, dalam pengumpulan gol. Posisinya sangat dekat.
Namun, kata Syamsul, baik dirinya maupun Joko tidak egois. Kalau Joko memiliki posisi yang lebih baik untuk bisa mencetak gol, Syamsul akan mengumpankan bola. Begitu juga sebaliknya.
''Akhirnya saya mencetak 30 gol dan Joko 28 gol. Tidak ada persaingan, semuanya untuk tim,'' tegasnya.
Syamsul memang terkenal sebagai bomber haus gol. Dia juga tahu bahwa waktu itu pers menjulukinya sebagai si Kepala Emas. Syamsul paham bahwa kepala merupakan kelebihannya. Namun, kemampuan itu tidak bisa muncul jika tidak dibarengi dengan keberanian.
''Saya pernah menyundul bola hanya setinggi pinggang. Letaknya pas di garis luar kotak penalti dan ternyata masuk. Jauh sekali, sangat manis. Saya tidak pernah lupa itu,'' jelasnya.
Kakek satu cucu itu menambahkan, dirinya sebetulnya ingin mengajarkan teknik-teknik bermain bola kepada para pemain muda. Karena tidak bisa mengkritik dan marah, niat tersebut terkubur sampai sekarang.
Syamsul mengatakan saat ini hanya berada di rumah, mengurus cucu, dan merawat burung. Meski, dia masih sering bertemu dengan mantan pemain. Syamsul juga pernah memiliki bisnis angkutan kota. Ketika ditanya lebih lanjut soal itu, Syamsul mengelak
No comments:
Post a Comment