Friday, January 14, 2011

Kabupaten Bondowoso, Peraih Grand Category Bidang Pelayanan Publik

Kabupaten Bondowoso, Peraih Grand Category Bidang Pelayanan Publik
Pada Malam Anugerah Otonomi Awards 2010, Kabupaten Bondowoso tampil mengejutkan dengan memboyong dua trofi sekaligus. Selain meraih penghargaan kategori khusus bidang pendidikan, daerah itu memboyong trofi kategori utama (grand category) bidang pelayanan publik. Apa saja capaian daerah penghasil tape tersebut? Berikut ulasan Nur Hidayat, peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

---

SEJAK dilantik menjadi bupati pada 15 September 2008, Amin Said Husni menjadikan sektor pendidikan sebagai salah satu fokus perhatian. Setelah pelantikan, ketika ditanya wartawan tentang prioritas pembangunan yang hendak dicanangkan, Amin langsung menegaskan bahwa Kabupaten Bondowoso membutuhkan terobosan di bidang pendidikan.

Menurut dia, sektor pendidikan harus ditata dan dipikirkan secara cermat. Program yang dibuat harus betul-betul terencana dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal itu, fondasi pertama yang disiapkan adalah peraturan daerah (perda) tentang penyelenggaraan pendidikan.

Berbekal pengalaman dua periode menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dia tidak kesulitan memberikan garis besar desain perda yang dikehendaki. Pada akhir 2008, sebuah tim yang ditugasi merumuskan rancangan perda terbentuk. Tim tersebut segera menyusun rancangan perda dan melakukan studi banding ke Jogjakarta.

Setelah itu, rancangan perda dikonsultasikan kepada publik melalui sebuah sarasehan. Hasilnya, tim menerima beberapa masukan untuk penyempurnaan rancangan perda. Masukan tersebut, antara lain, terkait dengan pengelolaan pendidikan dasar, kurikulum muatan lokal, dan rintisan wajib belajar 12 tahun. Akhirnya, Kabupaten Bondowoso secara resmi memiliki Perda Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada 14 Mei 2009.

Jika dibandingkan dengan beberapa daerah lain, kabupaten itu terbilang telat dalam menyusun perda pendidikan. Namun, bila dihitung dari rentang waktu pelantikan bupati, penerbitan perda tersebut relatif cepat. Ditanya tentang itu, Amin menyatakan bahwa wacana penerbitan perda berkembang sejak dirinya belum menjabat bupati. "Waktu menjadi anggota DPR, saya sudah terlibat dalam diskusi tentang (perda, Red) itu," tuturnya.

Yang menarik, perda tersebut kental akan nuansa lokal. Sesuai dengan karakter Bondowoso sebagai daerah santri, misalnya, perda itu mewajibkan pengajaran agama pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pemerintah daerah (pemda) juga berkomitmen membantu pendidikan keagamaan.

Selain itu, berangkat dari kesadaran akan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) daerah, perda tersebut menegaskan komitmen daerah dalam menjalankan rintisan wajib belajar 12 tahun. Menurut bupati, komitmen itu berasal dari usul masyarakat saat rancangan perda memasuki tahap konsultasi publik.

Pada bagian lain, perda tersebut menegaskan kewajiban pendidik. Antara lain, pendidik harus objektif dan tidak diskriminatif terhadap peserta didik. Pendidik harus bertindak adil tanpa membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi tertentu, latar belakang keluarga, serta status sosial-ekonomi peserta didik. Sebagai daerah dengan kultur feodal yang cukup kuat, masuknya pertimbangan latar belakang keluarga merupakan respons cerdas terhadap problem lokal yang mungkin dihadapi para pendidik.

Hal lain yang mewarnai perda tersebut adalah komitmen mengembangkan sekolah berbasis keunggulan lokal. Pada bagian hak dan kewajiban satuan pendidikan (pasal 33), ditegaskan salah satu kewajiban satuan pendidikan, yakni melaksanakan program sekolah berbasis keunggulan lokal.

Komitmen tersebut dipertegas pada bagian keempat (pasal 41-42) yang secara khusus mengatur pendidikan berbasis keunggulan lokal. Pada bagian tersebut, pemda mendorong pengembangan pendidikan berbasis keunggulan lokal melalui pembelajaran yang bersifat akademis serta memanfaatkan teknologi dan mempertimbangkan kecakapan vokasi, budaya masyarakat, maupun lingkungan hidup.

Pada saat yang sama, salah satu daerah tertinggal di Jawa Timur tersebut mengambil garis yang cukup tegas soal pengembangan sekolah bertaraf internasional (SBI). Caranya, mengikuti ketentuan minimal dalam pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas. Daerah itu membatasi diri dengan menominasikan satu SMP dan SMA serta dua SMK sebagai rintisan SBI.

Penguatan pendidikan berbasis keunggulan lokal tersebut tampak sekali pada jenjang SMK. Separo lebih dari 16 SMK negeri daerah itu memiliki kompetensi yang sesuai dengan potensi lokal.

Misalnya, SMKN 1 Tamanan yang berlokasi di dekat sentra pengusaha batik mengembangkan program keahlian kriya tekstil dan kayu. Program keahlian serupa dikembangkan di SMKN Pakem. Selain itu, SMKN 3 Bondowoso memiliki program keahlian teknik furnitur dan perabot kayu.

Di kawasan pegunungan dan basis pertanian, pemda mengembangkan program keahlian yang berbeda. Misalnya, SMKN Sumber Wringin memiliki program keahlian budi daya tanaman hias dan tumbuhan pangan hortikultura. Sedangkan SMKN Tlogosari dan SMKN Grujugan mengembangkan program keahlian agrobisnis produksi tanaman dan hasil pertanian.

Sementara itu, karena berada di wilayah perbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan berdekatan dengan industri pengalengan ikan, SMKN 1 Prajekan mengembangkan program keahlian agrobisnis perikanan serta budi daya ikan air tawar dan payau.

Di SMKN Maesan, program keahlian yang dikembangkan adalah budi daya unggas dan ruminansia. Daerah itu juga memiliki satu unit sekolah pertanian pembangunan negeri (SPPN) di Kecamatan Tegalampel.

Di luar itu, bidang dan program keahlian lain yang dikembangkan sangat beragam. Misalnya, tata boga, busana, dan kecantikan serta perhotelan (SMKN 2). Ada juga program bisnis, manajemen, serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di SMKN 1. Dalam dua tahun terakhir, Pemkab Bondowoso juga mendorong secara intensif berdirinya SMK swasta, yang mayoritas berbasis pondok pesantren.

Sebagai daerah miskin, kabupaten itu terkendala infrastruktur dan sumber daya pendidikan yang terbatas. Tapi, tekad mengembangkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan melahirkan pekerja terampil (skilled labours) benar-benar menjadi motivasi tersendiri bagi aparat pendidikan di kawasan tersebut.

Karena itu, tidak mengherankan beberapa sekolah di daerah tersebut dikembangkan dari sebuah SMK kecil yang berada satu atap dengan bangunan SMP. Beberapa kepala SMP pun diberdayakan dengan merangkap jabatan kepala SMK.

Untuk pelajaran normatif dan adaptif, sebagian guru SMP setempat direkrut sebagai pengajar SMK. Pemda juga mengerahkan staf dinas terkait untuk mengisi kekosongan waktu pelajaran produktif. Maka, tidak mengherankan di daerah itu ditemukan staf dinas infokom yang mengajar TIK di SMK. Juga, staf dinas peternakan dan pertanian yang mengajar di SMK dengan program keahlian peternakan, perikanan, maupun pertanian. (hidayat@jpip.or.id/agm)

 

No comments: