Monday, January 17, 2011

Temuan Monitoring Otonomi Daerah 2010; Indikator Akuntabilitas Publik

Temuan Monitoring Otonomi Daerah 2010; Indikator Akuntabilitas Publik
Persoalan akuntabilitas menjadi batu sandungan pelaksanaan otonomi daerah. Kabupaten dan kota menjawabnya dengan berbagai terobosan. Bagaimana bentuk inovasinya? Berikut pemaparan Wawan Sobari peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)

---

SEJAK KPK berdiri (2004) hingga 2009, lembaga pemberantas korupsi tersebut telah menangkap 19 bupati/walikota dan 5 gubernur karena kasus korupsi. Hingga pertengahan tahun 2010, sudah masuk 35 ribu laporan korupsi di daerah ke KPK. Korupsi di daerah hampir 70 persen dilakukan melalui Dana APBD.
Temuan Monitoring Otonomi Daerah 2010; Indikator Akuntabilitas Publik

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menambahkan, Presiden telah mengeluarkan sekitar 150 izin proses hukum kepala daerah terkait kasus korupsi hingga Juni 2010. Modus utamanya berupa penyimpangan APBD. Menurut ICW, dari jumlah besaran anggaran APBD, biasanya 30 persen terjadi kebocoran yang diambil dari proyek belanja modal, barang dan jasa.

Fakta dan data tersebut menjadi kampanye negatif otonomi daerah. Tujuan otonomi demi perbaikan kesejahteraan masyarakat menjadi kehilangan arah. Pun, pemerintah lambat laun mengoreksi legitimasi transfer kewenangan ke daerah (desentralisasi).

Praktik Teladan

Upaya-upaya pemda untuk mendorong terciptanya birokrasi yang steril dari praktik korupsi menjadi tantangan tersendiri bagi daerah-daerah di Jawa Timur. Sepanjang 2009, JPIP menemukan minimnya terobosan menonjol dalam upaya mendorong sanitari birokrasi. Upaya tersebut hanya ditemukan di Surabaya melalui penerapan lelang serentak secara elektronik (e-procurement) yang sudah dikembangkan sejak tiga tahun sebelumnya.

Meskipun demikian, terobosan yang dikembangkan Pemkot Surabaya penting sebagai contoh bagi daerah lainnya. Karena, lelang merupakan salah satu proses yang paling rawan terjadi tindak pidana korupsi, terutama gratifikasi.

Kondisi tersebut memang ironis. Di tengah maraknya kecaman banyak pihak, daerah justru kurang memperhatikan upaya-upaya pencegahan tindak korupsi di daerah.

Satu penjelasan logis minimnya iniasiatif tersebut karena faktor kepala daerah yang dominan. Kuatnya determinasi kebijakan kepala daerah bisa menghambat inisiatif antikorupsi. Karena inisiatif seperti ini justru akan menghambat kepentingannya untuk mempertahankan dan membangun kekuasaan.

Fakta yang mendukung asumsi tersebut bisa dilihat dari banyaknya kasus korupsi di daerah yang menjadikan kepala daerah sebagai aktor utama. Berdasar data KPK dalam lima tahun terakhir, kasus korupsi telah menjerat 19 bupati/walikota dan 5 gubernur. Situasi ini didukung pula oleh struktur birokrasi yang hierarkis.

Birokrasi selalu menuruti kehendak kepala daerah, sehingga miskin inisiatif, termasuk dalam pencegahan tindak korupsi. Berdasar temuan JPIP, kepala daerah menentukkan realisasi dan implementasi lebih dari 70 persen inovasi daerah. Padahal, lebih dari 50 persen inovasi ide awalnya berasal dari birokrat daerah.

Terakhir, desain pemilukada tidak mampu mencegah praktik politik transaksional antara kepala daerah, konstituen, dan elit politik lokal. Kondisi tersebut berpotensi melemahkan inisiatif kontrol dari masyarakat maupun elit lokal. Karena kepala daerah yang dominan mengarahkan pilihan-pilihan kebijakannya agar menguntungkan para pendukungnya.

Tetapi, minimnya inisiatif antikorupsi tidak memandulkan kreatifitas untuk mendorong akuntabilitas pada bidang lainnya. Sepanjang 2009, JPIP menemukan inisiatif untuk mendorong transparansi publik, perbaikan penanganan pengaduan, dan peningkatan responsifitas aparat daerah.

Terdapat kemajuan berarti terkait upaya-upaya pemda untuk mendorong transparansi dan keterbukaan informasi dibanding era sebelum otonomi daerah. Bahkan, sebelum implementasi UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada 2010, daerah-daerah di Jawa Timur telah lebih dulu mendorong transparansi. Pemda berkolaborasi dengan organisasi non-pemerintah dan lembaga internasional terus mendorong kemudahan akses informasi publik terkait penyelenggaraan dan kebijakan pemerintah.

Selain kegiatan dan program, upaya transparansi telah dilembagakan di Lamongan, Ngawi, dan Kabupaten Probolinggo. Ketiga daerah tersebut telah menerbitkan peraturan daerah (perda) yang secara khusus mengatur transparansi pemda. Akses informasi publik dijamin di ketiga daerah tersebut secara permanen, khususnya, dalam kegiatan pembangunan daerah.

Kabupaten Probolinggo menetapkan Perda 13/2008 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan. Prinsip transparansi yang dimaksud yaitu keterbukaan perencanaan pembangunan. Transparansi dilakukan dengan cara memberikan informasi kepada publik tentang perencanaan pembangunan. Selain itu, JPIP menemukan pula inisiatif berupa dialog langsung antara pejabat dan masyarakat dan transparansi data kemiskinan secara online di Kota Probolinggo.

Terkait peningkatan respon aparat daerah, beberapa terobosan sudah mulai menjawab tantangan otonomi untuk semakin meningkatkan sensitivitas pemda terhadap kebutuhan dan permintaan warga. Citizen's Charter (CC) merupakan respon yang paling banyak dikembangkan daerah.

CC adalah bentuk kesepakatan hasil negosiasi dan konsultasi antara kebutuhan dan kepentingan warga dan pemda atau unit pelayanan publik. Keinginan warga sebagai pengguna pelayanan dan visi dan kemampuan pemda sebagai penyedia pelayanan saling bertemu hingga menjadi pertimbangan utama dalam penyelenggaraan pelayanan dasar seseuai keinginan dan kemampuan bersama.

Selama 2009, praktik governance guna merespon permintaan dan kebutuhan publik tersebut telah diterapkan di Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, Pacitan, dan Sampang. Di Kota Pasuruan Citizen's Charter diaplikasikan dalam Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas se-Kota Pasuruan sejak 2007. Penerapan CC mampu merespon keinginan masyarakat dalam pelayanan kesehatan dasar menjadi lebih efisien, responsif, transparan dan terjangkau masyarakat.

Sementara untuk perbaikan penanganan keluhan masyarakat, pemda menggunakan media radio. Meski telah tergeser keberadaan televisi, popularitas radio tidak sepenuhnya pudar di daerah. Sejumlah daerah di Jawa Timur justru mengandalkan radio sebagai media penyampaian dan penanganan keluhan warga terkait persoalan pelayanan publik, infrastruktur, dan masalah lainnya. Seperti dilakukan di Kota Probolinggo, Tuban, Bondowoso, Kabupaten Blitar, dan Bojonegoro.

Pemkab Tuban menyediakan ruang publik dalam salah satu acara di RKPD Pradya Swara. Pemkab menjadikan radio tersebut sebagai media aspirasi publik. Bupati mewajibkan setiap kepala SKPD melakukan siaran bergilir dan langsung berinteraksi dengan warga yang melakukan komplain maupun pujian atas pelayanan publik.

Siaran ini dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu digelar hari selasa dan kamis. Selain itu, setiap satu bulan sekali di awal tahun anggaran, bupati melakukan acara "rembugan massal" atau temu wicara di pendopo kabupaten dengan melibatkan seluruh tokoh masyarakat dan pejabat setempat. (wawansobari@jpip.or.id)

 

No comments: