[ Minggu, 05 September 2010 ]
Khofifah Indar Parawansa: Hak-Hak Kerahmatan Muslim-Nonmuslim
[Dan tiadalah mengutus kamu (ya Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin) QS Al-Anbiya' ayat 107].
---
SECARA etimologi, Islam berarti ''damai". Sedangkan rahmatan lil 'alamin berarti ''kasih sayang bagi semesta alam". Karena itu, yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil 'alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Rahmatan lil 'alamin adalah istilah qurani. Dan, istilah itu sudah terdapat dalam Alquran, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Anbiya' di atas.
Ayat tersebut menegaskan bahwa jika diimplementasikan secara benar, dengan sendirinya ajaran Islam akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun untuk seluruh alam, baik untuk laki-laki maupun perempuan, baik untuk mayoritas maupun minoritas. Rahmat adalah karunia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua; rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim.
Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat amma kulla syai', meliputi segala hal, sehingga orang-orang nonmuslim pun mempunyai hak kerahmatan. Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi, rahim itu adalah khoshshun lil muslim.
Karena itu, apabila ajaran Islam dilaksanakan secara benar, rahman dan rahim Allah akan turun semua. Dengan demikian, berlakulah sunatullah; baik muslim maupun nonmuslim, kalau melakukan hal-hal yang diperlukan oleh kerahmanan, mereka akan mendapatkannya.
Kendati orang Islam, jika tidak melakukan ikhtiar kerahmanan, mereka tidak akan mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, terhadap karunia rahman ini, berlaku hukum kompetitif.
Contohnya, jika ada orang Islam yang bekerja tidak profesional, hasilnya pun tidak akan maksimal dalam memakmurkan hidupnya. Sementara itu, jika orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah nonmuslim, mereka pun akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Sebab, dalam hal ini, mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang berlaku universal (amma kulla syai').
Sedangkan hak atas surga ada pada sifat rahim Allah SWT. Karena itu, yang mendapat kerahiman ini adalah orang mukminin. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa rahmatan lil 'alamin adalah bersatunya karunia Allah yang tercakup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil 'alamin, Islam telah mengatur tata hubungan yang menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberikan rumusan tegas yang harus diyakini setiap pemeluknya. Tetapi, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa nonmuslim memeluk Islam. Begitu pula halnya dalam tataran ritual yang operasionalnya memang sudah ditentukan dalam Alquran dan Al-hadis.
Namun, dalam konteks sosial, menurut para ahli, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif bergantung kepada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasar keberagaman lokalitas nilai sejarah yang dimiliki.
Entitas Islam sebagai rahmatan lil 'alamin mengakui eksistensi pluralitas karena Islam memandang pluralitas sebagai sunatullah, yaitu fungsi pengujian Allah kepada manusia, faktor sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.
Pluralitas sebagai sunatullah telah diabadikan dalam banyak ayat Alquran, antara lain, dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya: ''Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
Ayat tersebut menempatkan kemajemukan atau pluralitas sebagai syarat determinan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk. Dalam Alquran, banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih sayang, antara lain, surat al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan.
Allah SWT berfirman, yang maknanya: ''Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat".
Terkait dengan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa benang merah yang bisa ditarik dari perintah itu adalah mewujudkan perdamaian; semua orang harus merasa bersaudara.
Dalam konteks itu, ada tiga macam persaudaraan (ukhuwwah). Pertama, ukhuwwah Islamiyyah, yang berarti persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Kedua, ukhuwwah wathaniyyah, yang berarti persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, ukhuwwah basyariyyah, yang berarti persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan. Ketiga macam ukhuwah tersebut harus diwujudkan secara berimbang menurut posisi masing-masing. Satu dan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Sebab, hanya melalui tiga dimensi ukhuwah itulah rahmatan lil 'alamin akan terealisasikan.
Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama Iain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkan, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja-gereja dan sinagoge-sinagoge boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.
Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya, dan agama dapat dicapai dengan baik. Rasulullah meminta kepada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan, untuk menjaga keselamatan kaum muslimin -karena waktu itu (tahun ke-12 masa kenabian) kekuatan Islam masih lemah- beliau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah.
Pada periode Madinah itu pun, Rasulullah tetap konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama, dan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Dalam konteks itu, rahmatan lil 'alamin yang diimplementasikan oleh NU didasarkan kepada basis pemikiran Aswaja (ahlussunnah waljama'ah), sebagai kebalikan dari ahlu bid'ah wadldlolalah yang biasanya membuat kreasi-kreasi keagamaan yang bertentangan dengan ajaran sunah.
NU menerjemahkan konsepsi rahmatan lil 'alamin lewat pendekatan tawassuth dan i'tidal yang dikonkretisasikan ke dalam sikap nahdliyah. Tawassuth atau garis tengah adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual. Sedangkan i'tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi, tawassuth itu menjelaskan posisi, sedangkan i'tidal adalah akurasi dan konsistensi.
Penggabungan tawassuth dan i'tidal dapat didefinisikan sebagai pengertian terhadap Islam yang tepat dan benar, kemudian dibawakan dengan metodologi yang benar pula. Kalau digabungkan, itu melahirkan kebenaran agama yang dibawakan secara benar pula. Dapat dikatakan pula, tawassuth dan i'tidal sebagai suatu sikap yang mengambil posisi di tengah, tetapi jalannya lurus. Sikap inilah yang diharapkan menjadi bagian dari prinsip menjalankan Islam rahmatan lil 'alamin. Menghadirkan agama secara kontekstual, menjaga sikap moderasi, serta menjaga konsistensi dalam bersikap dan bertindak. Jika prinsip-prinsip tersebut bisa dijalankan, bangunan kehidupan masyarakat yang damai insya Allah akan bisa diwujudkan.
Khofifah Indar Parawansa, Ketua PP Muslimat
No comments:
Post a Comment